Iki Radio - Pagi di lereng Gunung Lemongan selalu datang dengan lembut. Embun menggantung di daun-daun pinang, angin berembus pelan, dan cahaya matahari menyelinap di antara batang-batang pohon yang kini berdiri kokoh. Di sanalah Daim kerap berhenti sejenak, menatap hutan yang hari ini hijau, seolah bercermin pada masa lalu yang pernah getir.
![]() |
| Daim menanam bibit pohon di Gunung Lemongan |
Tak banyak yang mengetahui bahwa puluhan tahun silam
kawasan ini nyaris kehilangan harapan. Lereng yang kini rimbun dahulu gersang,
tanahnya merekah, dan air hujan mengalir tanpa penahan. Di tengah kondisi
itulah Daim berdiri sendirian, meyakini bahwa alam masih dapat diselamatkan,
meski nyaris tak ada yang percaya.
Daim bukan akademisi, bukan pejabat, dan bukan pula
aktivis lingkungan yang terbiasa tampil di panggung besar. Ia hanyalah warga
desa yang hidup dari alam dan belajar langsung dari perubahan-perubahan kecil
di sekitarnya. Pengalamannya tak tertulis di buku, tetapi terpatri kuat dalam
ingatan dan ketekunannya.
Satu peristiwa menjadi titik balik hidupnya. Banjir besar
datang tiba-tiba dan menghanyutkan rumah keluarganya. Air turun dari gunung
tanpa ampun. Sejak saat itu, bagi Daim, hutan bukan lagi sekadar latar
kehidupan, melainkan benteng terakhir yang menentukan keselamatan banyak orang.
Ketika kebakaran hutan dan pembalakan liar merusak Gunung
Lemongan, Daim memilih jalan sunyi. Pada 1996, saat banyak orang mengejar hasil
cepat dari kayu, ia justru memanggul ember berisi bibit dan menapaki lereng
curam seorang diri. Tak ada perintah, tak ada anggaran, dan tak ada janji hasil.
“Kalau hutannya gundul, air hujan pasti turun semua ke
bawah,” katanya sederhana, Rabu (24/12/2025).
Daim menanam dengan kesabaran yang nyaris tak masuk akal.
Berbagai bibit pernah ia coba sirsak, kopi, hingga alpukat. Banyak yang gagal.
Bibit dimakan hewan liar, patah diterpa angin, atau mati sebelum tumbuh kuat.
Hingga akhirnya, pinang bertahan.
Akar pinang mencengkeram tanah dengan kuat. Batangnya
tegak, daunnya membantu menahan laju air hujan. Dari sanalah Daim menemukan
harapan, bukan dari hasil panen, melainkan dari tanda-tanda kehidupan yang
kembali.
Hari-harinya diisi dengan membuka semak, menggali tanah,
dan menyusun batu demi batu untuk mencapai lokasi tanam. Tubuhnya lelah, tangan
kapalan, kaki sering terluka. Namun yang paling menyakitkan bukan rasa lelah,
melainkan cemooh dari sekitarnya.
Ia ditertawakan, disebut gila, dianggap membuang waktu.
Menanam pinang dinilai tak bernilai ekonomi. Bahkan saat harga pinang jatuh,
hasil panennya tak cukup untuk membeli beras. Namun Daim tetap datang ke hutan,
hari demi hari, tanpa jeda.
“Ada waktu saya hampir percaya omongan orang. Tapi saat
melihat gunung mulai hijau, hati saya tenang,” ujarnya.
Bagi Daim, hijau adalah tanda kehidupan. Tanda bahwa air
hujan tak lagi turun dengan amarah. Tanda bahwa anak-anak di kaki gunung bisa
tidur lebih nyenyak saat musim hujan tiba.
Tahun demi tahun berlalu, dan perubahan perlahan tampak.
Pinang tumbuh melingkari lereng, membentuk sabuk alami penahan erosi. Jurang
yang dulu dalam mulai dangkal. Banjir tak lagi menjadi cerita tahunan yang
menakutkan.
Apa yang dahulu ditertawakan mulai ditiru. Ketika harga
pinang membaik, warga berdatangan. Mereka menanam, memanen, dan menggantungkan
hidup dari pohon-pohon yang dulu dianggap tak berharga.
Daim tak pernah merasa paling berjasa. Ia tidak marah
ketika orang datang belakangan. Ia justru tersenyum melihat hutan kembali
hidup.
“Yang penting hutannya hidup,” katanya singkat. Kini
manfaat hutan pinang dirasakan banyak orang. Ada yang memanfaatkan pelepah,
mencari pakis, hingga bekerja sebagai buruh panen. Jalan setapak yang dulu Daim
susun dari batu kini menjadi akses rezeki bersama.
Jalan sunyi itu tak selalu mulus. Niat baiknya sempat
diuji birokrasi. Ia diminta mengurus izin, dipertanyakan legalitasnya, bahkan
hampir kehilangan kesempatan menerima penghargaan karena dianggap menanam tanpa
prosedur.
Namun Daim tak gentar. “Saya menanam supaya tidak ada
bencana. Kalau ada apa-apa, kami yang pertama kena,” ucapnya mantap.
Ketulusan itu akhirnya menemukan jalannya. Pada 2022,
Daim menerima Penghargaan Kalpataru, penghargaan tertinggi bagi pejuang
lingkungan. Bukan sebagai akhir perjuangan, melainkan pengakuan atas kerja
sunyi yang telah lama ia lakukan.
Kini usianya tak lagi muda. Langkahnya lebih pelan,
tetapi matanya tetap berbinar setiap kali berbicara tentang hutan. Ia tahu,
waktunya di lereng gunung tak akan selamanya.
Pesannya sederhana, ditujukan kepada generasi muda:
“Tidak perlu jadi orang hebat untuk menjaga alam. Cukup mau menanam dan
merawat.” Bagi Daim, hutan adalah warisan kehidupan. Setiap pohon pinang yang
berdiri hari ini menjadi bukti bahwa kesabaran, meski sering disalahpahami,
pada akhirnya selalu menemukan maknanya.
















