Tawa Lepas di Posko Pengungsian, Harapan Besar bagi Anak Nagari Bayua

Iki Radio - Tawa lepas anak-anak memecah suasana Posko Pengungsian Nagari Bayua, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat.

Di tengah keterbatasan dan bayang-bayang trauma pascabencana banjir dan longsor, cerita dan permainan sederhana menjadi jembatan bagi mereka untuk kembali merasa aman dan bahagia.

Keceriaan itu hadir melalui kegiatan mendongeng interaktif yang digelar oleh layanan Mobil Dukungan Psikososial Kementerian Komunikasi dan Digital. Kegiatan tersebut menyasar anak-anak pengungsi sebagai bagian dari upaya pemulihan kondisi psikologis pascabencana.

Program ini merupakan hasil kolaborasi dengan organisasi nirlaba Save the Children. Metode mendongeng dipilih karena dinilai efektif untuk membantu anak mengekspresikan emosi, membangun rasa aman, serta mengalihkan perhatian dari pengalaman traumatis yang mereka alami.

Pendongeng Maia Janitra membawakan cerita dengan pendekatan komunikatif dan partisipatif. Anak-anak tidak hanya menjadi pendengar, tetapi juga terlibat aktif sejak awal. Mereka diajak berkenalan dengan tokoh-tokoh boneka binatang, seperti Kiko si kelinci, Bimo si gajah, Bintang si badak, dan Beli-beli si burung.

Melalui dialog ringan dan permainan suara, anak-anak tampak antusias menjawab pertanyaan, menirukan suara binatang, hingga memberi nama tokoh-tokoh dalam cerita. Suasana posko yang sebelumnya sunyi berubah menjadi ruang yang penuh interaksi dan tawa.

Cerita yang disampaikan berpusat pada Kiko, seekor kelinci yang gemar bermain gawai hingga melupakan lingkungan dan teman-temannya. Kebiasaan tersebut membuat Kiko tidak peka terhadap perubahan alam di sekitarnya. Saat badai datang, pohon-pohon tumbang, longsor terjadi, dan banjir melanda hutan, Kiko terjebak dalam situasi berbahaya.

Dalam cerita tersebut, Kiko akhirnya diselamatkan oleh teman-temannya. Dari peristiwa itu, ia menyadari pentingnya kebersamaan, kepedulian terhadap lingkungan, serta membatasi penggunaan gawai.

“Melalui alur cerita ini, anak-anak diajak memahami pesan tentang bahaya penggunaan gawai secara berlebihan, pentingnya menjaga alam, dan nilai persahabatan. Pesan disampaikan dengan bahasa sederhana agar mudah dipahami,” ujar Maia.

Tak hanya mendengarkan cerita, anak-anak juga diajak berimajinasi. Mereka menirukan suara angin kencang, hujan deras, hingga suara binatang di hutan. Beberapa anak bahkan berani mengungkapkan pendapat tentang makna cerita yang mereka dengar.

Interaksi tersebut membuat kegiatan mendongeng terasa hidup dan hangat. Anak-anak terlihat lebih terbuka, berani berbicara, dan saling menyemangati satu sama lain.

Bagi anak-anak pengungsi, kegiatan ini bukan sekadar hiburan. Dongeng menjadi ruang aman untuk memulihkan emosi dan membangun kembali rasa percaya diri. Pendekatan yang menyenangkan diharapkan dapat membantu mereka perlahan bangkit dari trauma dan kembali menjalani aktivitas sehari-hari dengan lebih positif.

Para peserta pun tidak hanya tampak gembira, tetapi juga mampu menangkap pesan yang disampaikan. Bunga Ramadan (11) mengaku mendapat pelajaran penting dari cerita tersebut.

“Tidak boleh sering bermain handphone dan lebih baik bermain dengan teman-teman,” katanya.

Fitriah Bilqisti (11) juga merasakan hal serupa. Menurutnya, kegiatan ini mengingatkan anak-anak agar tidak menyia-nyiakan waktu dengan bermain gawai secara berlebihan.

“Kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu. Lebih baik belajar atau melakukan kegiatan yang bermanfaat,” ujarnya.

Sementara itu, Winda Marina (11) mengatakan gawai yang dimilikinya digunakan untuk keperluan sekolah. Ia membatasi penggunaannya hanya pada waktu tertentu, maksimal dua jam dalam sehari.

“Handphone saya gunakan untuk belajar saja. Setelah itu tidak dimainkan,” katanya.

Upaya edukasi tersebut sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak atau PP Tunas. Regulasi ini bertujuan menciptakan ruang digital yang aman bagi anak melalui penyaringan konten, mekanisme pelaporan yang mudah diakses, serta penanganan cepat terhadap potensi pelanggaran.

PP Tunas merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penyusunannya melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari kementerian, organisasi masyarakat sipil, pelaku industri digital, hingga kelompok anak dan orang tua.

Di tengah situasi pascabencana, dongeng tentang Kiko menjadi pengingat bahwa pemulihan anak tidak hanya menyangkut kebutuhan fisik, tetapi juga rasa aman, kebersamaan, dan pendampingan dalam menghadapi tantangan dunia nyata maupun digital.

close
Pasang Iklan Disini