Iki Radio - Malam 1 Sura selalu menjadi waktu sakral bagi sebagian masyarakat Jawa. Tidak hanya dirayakan dengan doa atau tirakatan, malam itu juga identik dengan ritual jamasan, yaitu prosesi pembersihan benda-benda pusaka seperti keris atau warisan leluhur.
Tahun ini, malam 1 Sura jatuh pada Kamis Wage, 26 Juni 2025. Di malam itulah, Fajar Purwoto, pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) yang menjalankan jamasan, kebiasaannya selama puluhan tahun.
![]() |
Fajar Purwoto memperlihatkan ratusan pusaka yang dimiliki. (Foto : JAWA POS RADAR SEMARANG) |
"Ya karena sudah dipercaya ngopeni (merawat, red) ya diresiki (dibersihkan, red). Jangan sampai nanti tahu-tahu 10 tahun tidak jamasan, pusakanya bolong-bolong," ujar Fajar saat ditemui di kediamannya, Pondok Beringin, Ngaliyan, Kota Semarang, belum lama ini.
Ritual jamasan dilakukan dengan penuh ketekunan. Fajar menggunakan air bunga melati dan sabun cuci piring untuk merawat 375 pusaka koleksinya yang sebagian besar adalah keris.
Baginya, malam 1 Sura bukan hanya momentum simbolik, tetapi juga waktu untuk merenungi asal-usul dan nilai luhur yang melekat pada setiap bilah keris.
Fajar dikenal luas di kalangan kolektor keris dan pemerhati budaya Jawa. Mantan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Semarang ini mengoleksi keris sejak 2004.
Dia mengaku tak pernah membeli satu pun dari ratusan pusaka itu.
"Tidak pernah beli. Kalau saya pengin, tiba-tiba ada bayangan di mana letaknya. Misal di pohon, ya saya minta orang buat ambil, dan ternyata memang ada," katanya.
Sejak 2011, keris-keris yang disebutnya “datang sendiri” mulai sering muncul, kadang dua hingga tiga dalam sepekan.
Menurutnya, kedatangan pusaka itu bukan kebetulan. Dia meyakini benda-benda itu datang karena "meminta dirawat", seperti warisan spiritual dari para leluhur.
Namun demikian, Fajar menekankan bahwa fanatisme terhadap pusaka tak boleh melampaui batas. Dia mengingatkan bahwa keyakinan tertinggi tetap kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Al-Qur'an disebutkan kita harus percaya kepada barang gaib. Namun, kita harus berkeyakinan bahwa kita lebih mulia dari mereka," ujarnya.
Dalam ritual malam 1 Sura, Fajar kerap dimintai tolong oleh kerabat dan kolektor lain untuk menjamas pusaka mereka. Dia menerima dengan senang hati, selama niatnya untuk pelestarian budaya, bukan untuk kesaktian atau jabatan.
Baginya, keris bukan sekadar senjata bersejarah, melainkan simbol spiritualitas dan warisan budaya Jawa.
Beberapa koleksinya bahkan berbentuk unik seperti Semar Duduk, Naga atau memiliki luk (lekukan) mulai dari tiga hingga dua puluh satu.
Salah satu keris yang paling berkesan menyerupai tongkat naga memakan bola bumi emas yang sering disangka tongkat komando saat dirinya masih menjabat.
"Orang-orang tidak tahu, dikira tongkat komando. Padahal itu keris. Namanya tidak saya sebutkan, biar yang tahu saja yang menyebut," katanya.
Sugesti dari keris itu, Fajar mengaku kerap membantunya saat menghadapi tugas berat, seperti mengatur cuaca saat kegiatan Satpol PP.
Meski demikian, dia menolak jika keris dianggap sebagai jimat atau alat mistis yang disembah.
"Kalau sampai disembah, itu musyrik. Yang wajib kita sembah hanya Allah," ujarnya.
Dia juga mengkhawatirkan anggapan bahwa keris hanya berharga jika berlapis emas atau berlian. Baginya, pandangan itu justru menjauhkan generasi muda dari warisan budaya.
Untuk itu, Fajar rajin mengenalkan keris pada cucunya yang masih berusia lima tahun.
"Jangan sampai orang Jawa kelangan Jawane. Keris mayoritas dibuat zaman kerajaan dulu, bahkan ada yang usianya lebih dari 500 tahun. Kalau tidak dikenal generasi muda, kan eman (sayang, red)," ujarnya.
Salah satu keris tertuanya diyakini berasal dari zaman Sunan Kalijaga hingga Kanjeng Ratu Kidul. Semua pusaka itu, kata Fajar, didapat dengan cara “transfer alam”.
Misalnya, setelah dia mendapatkan petunjuk batin, lalu menaruh bunga melati di pohon tertentu.
"Beli kembang melati Rp 5.000, saya taruh, lalu ditemukan pusaka di dekat situ," katanya.(wis/jpnn)